skip to main |
skip to sidebar
Kegagalan tampaknya tidak pernah jauh-jauh dari kehidupan Kim Won-kang (Hee-soon Park). Bisnis kayu yang tidak berjalan baik sampai kehidupan perkawinan yang berantakan membawa pria Korea Selatan yang juga seorang pemain sepak bola ini mencoba mengadu peruntungannya ke Dili, Timor Leste, ibu kota negara yang pada saat itu baru saja melepaskan diri dari Indonesia.
Di sana, melihat antusiasme yang begitu besar dalam diri anak-anak Timor Leste dalam bermain sepak bola, apalagi hampir semua anak-anak tersebut bermain tanpa menggunakan sepatu membuat Kim Won-kang mencoba memanfaatkan kesempatan tersebut untuk membuka toko peralatan olahraga, tentu dengan harapan besar memperoleh keuntungan yang bayak. Sayang, Kim Won-kang terlalu naif, Ia rupanya tidak mengetahui kondisi ekonomi masyarkat Timor Leste yang serba kekurangan paska kemerdekaan dimana untuk makan saja susah, apalagi membeli sepatu seharga $60. Namun dibalik kekecewaannya itu Kim melihat semangat luar biasa dalam diri anak-anak tidak beruntung itu dalam sepak bola yang kemudiannya memutuskan dengan bekalnya sebagai mantan pemain sepak bola untuk melatih mereka.
Jujur saja sebenarnya A Barefoot Dream sama sekali tidak meyuguhkan sesuatu yang spesial, semua tersaji layaknya tipikal sport movies kebanyakan, klise dan mudah ditebak, bahkan di 20 menit pertama saja kita sudah mengetahui bagaimana film ini akan berakhir nantinya. Namun menjadi klise bukanlah hal yang tabu, apalagi jika sang empunya film, dalam kasus ini, Kim Tae-gyun termasuk berhasil memoles kisah ‘cinderlla story’ yang juga diangkat dari kisah nyata ini dengan baik dan menjadikannya sebuah tontonan menghibur dan juga inspirasional, apalagi mengingat olahraga yang diangkat adalah sepak bola, olahraga palingg digemari di jagat raya ini.
A Barefoot Dream dapat dengan mudah menjadi film yang personal bagi kita, penonton Indonesia. Apalagi jika bukan karena kisahnya bersetting di Timor Leste yang notabene adalah eks NKRI. Ya, Meskipun negara yang sebelum kemerdekaannya pada 20 Mei 2002 lalu masih bernama Timor Timur ini sudah tidak lagi berstatus sebagai bagian negara kita, namun tetap saja tidak mudah bagi masyarakatnya untuk melepaskan budaya Indonesia yang sudah melekat erat dalam darah mereka. Dan rupanya sebagai sutradara dan penulis naskah, Kim Tae-gyun cukup jeli melihat fenomena tersebut. Alih-alih mengambil jalan pintas dengan menggunkan bahasa Inggris atau Korea yang notabene lebih mudah, Kim malah memilih untuk rela besusah payah menyajikan dialog-dialog serealistis mungkin dengan memasukan bahasa Indonesia yang sudah terdengar akrab ditelinga kita menjadi salah satu bahasa utama di sin berdampingan dengan bahasa Korea, Inggris, maupun Portugis. Sebenarnya aneh juga melihat aktor Hee-soon Park berbicara dalam bahasa Indonesia yang masih belepotan, namun jelas hal tersebut dipastikan akan membuat kita sebagai penonton Indonesia mau tidak mau tersenyum atau bahkan tertawa mendengarnya.
Meskipun beratribut kisah nyata, namun sudah tentu sebagai sebuah film komersil, A Barefoot Dream, seperti kebanyakan film dengan ‘embel-embel’ based on true story-nya juga mengalami modifikasi sana-sini yang sudah tentu menyimpang dengan kisah orisinilnya, plus momen-momen yang sudah didramatisasi sedemikian rupa, ya, sekali lagi namanya juga film komersil, semua hal tersebut tampaknya masih diperlukan untuk membuat kisah from zero to hero’ ini menjadi terlihat menarik, dan yang terutama bisa menyentuh emosi para penontonnya, meskipun bagi saya film yang mewakili Korea Selatan dalam ajang Oscar 2010 untuk masuk nominasi film berbahasa asing terbaik ini terlihat ‘lebay’ dibeberapa bagian. Oh, ya! jangan lewatkan juga cameo Xanana Gusmão, presiden Timor Leste pertama disini.
Overall, A Barefoot Dream tidak lebih hanya sebuah film olahraga biasa. ya, memang sebuah film inspirasional, ya, memang diangkat dari kisah nyata yang mengagumkan, tapi semua itu sudah bukan barang baru lagi. Bagi saya bagian paling menarik disini adalah digunakannya Timor Leste yang notabene masih erat kaitannya dengan Indonesia bersama dengan segala budaya dan gejolak politiknya sebagai bahan ‘jualan’ utama film produksi Korea Selatan dan Jepang ini. Good, but not that Good.
Untuk download klik linknya di bawah ini:
0 komentar:
Posting Komentar